Satu.

            Aku malah melamun memperhatikan teman lama yang kini duduk di hadapanku sambil melahap nasi gorengnya. Aku menatapnya dengan dahi berkerut, sebab sebenarnya aku malah sedang sibuk berbicara dengan diriku sendiri. Apa yang sedang aku lakukan sih disini dengannya?
            “Nasi gorengnya enak banget loh, Sa. Kalo kelamaan ngeliatin saya, nanti jadi dingin nasi gorengnya. Tapi gapapa sih, mungkin kamu kangen sama saya hehe” tegurnya tanpa sedikitpun menghentikan kegiatannya, dia masih terus melahap nasi gorengnya seperti sudah tidak makan tiga hari. Boro-boro jadi salah tingkah, aku malah kembali melamun, masih dengan pertanyaan yang sama: Sebenarnya aku ngapain sih, jam 11 malam malah lagi makan nasi goreng sama dia?
            Angga, teman yang sedang duduk di depanku ini sudah berhasil membuatku lupa apa yang membuatku selama lima jam terakhir ini bisa lengket dengannya. Dia itu benar-benar aneh. Angga sudah dua tahun meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan  studi S1 nya ke Jerman. Dia bilang dia baru pulang dua tahun lagi entah karena urusan apa. Tapi tiba-tiba, tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, dia muncul di depan rumahku pukul 6 sore tadi.
            “Sasa! Apa kabarnya? Ih gendutan. Sa temenin saya ke Aksara yuk. Kangen liat buku-buku sama kamu” ujarnya sore tadi sambil memelukku erat. Aku cuman bengong karena terlalu kaget menemukan mahluk yang sudah dua tahun tidak aku liat itu. Tanpa sempat diizinkan bertanya ini dan itu, aku sudah diboyong menemaninya. Dari ngobrol tentang buku di Aksara sampai dua jam, mengikutinya makan siomay dan mi ayam di pinggir jalan, hingga malam ini saat dia mengajakku makan di nasi goreng, dan aku baru sepenuhnya sadar untuk bertanya sebenarnya dia ini kenapa tiba-tiba muncul di depanku.
            Perlu kuperjelas, aku dan Angga adalah teman. Tidak, kami bukan teman masa kecil seperti yang sering kalian baca pada cerita-cerita. Atau dua orang manusia yang terjebak dalam hubungan tanpa status atau apalah. Kami punya status, dan status tersebut adalah teman. Kami kenal sejak SMP dengan cara yang tidak biasa. Waktu itu saat SMP aku sedang senang-senangnya meminjam buku di perpustakaan kota. Namun suatu ketika aku kesal karena satu buku yang ingin sekali aku baca stock nya selalu tidak ada. Kata penjaganya, orang yang meminjam buku itu memang selalu memperpanjang masa peminjamannya. Aku jadi penasaran hingga suatu ketika aku bertemu dengan orang tersebut. Cukup kaget ketika ada anak laki-laki berseragam putih biru juga yang suka nongkrong di perpustakaan kota, dan bisa sama-sama suka dengan buku yang ingin aku pinjam. Sejak itu kami jadi dekat karena selalu punya ketertarikan yang sama. Nyambung kalau kata istilah zaman sekarang. Mulai dari hapal seluruh kalimat novel-novelnya Dewi Lestari, ngobrolin isu-isu sosial tentang korupsi atau kesenjangan sosial, bahkan nyambung sampai ngomongin hal ga penting seperti sinetron. Pertemanan kami semakin dekat ketika akhrinya kami bersekolah di SMA yang sama, namun sekarang dia melanjutkan kuliah tekniknya di Jerman dan aku melanjutkan kuliah arsitek ku di Jakarta, meskipun  pada awalnya kuliah di luar negeri adalah cita-cita kami bersama.
            Pertemanan ku dengan Angga adalah satu dari sekian hal dari hidupku yang kalau boleh aku mintakan pada Tuhan, aku tidak ingin mengubahnya. Beruntungnya, Angga juga merasa begitu, sebab kalau bicara tentang percintaan, kami sudah punya pasangan masing-masing. Eh itu aku, Angga dulu. Alasan putusnya kenapa klise untuk diceritakan.
            “Kelamaan banget sih, Sa bengongnya. Yaudah deh daripada saya lagi makan terus diliatin dengan tatapan menginterogasi gitu, kamu mau nanya apa deh sekarang?” tanyanya sambil menyeruput es jeruknya.
            “Terlalu banyak yang mau aku tanya. Ini kenapa dulu deh sekarang kamu bisa ada di Indonesia? Nggak ngerti lagi aku”
            Dia cuman tersenyum kecil, dan mungkin selanjutnya aku akan mendengar jawaban nya yang penuh dengan diksi. Seperti chat-chat kita whatsapp selama ini yang mayoritas sejujurnya aku tidak selalu mengerti apa yang dia tuliskan. “Kangen, Sa. Kamu aja yang cuman loncat ke kuliah di Indonesia bisa ngerasa asing dengan orang-orang yang kata kamu segitu beda karakternya, apalagi saya. Saya dua tahun ini kuliah sama orang-orang dari berbagai negara dan masalahnya lebih rumit dari sekedar perbedaan karakter” jawabnya.
            Aku mencoba memikirkan apa rasanya jadi Angga selama dua tahun ini. Tapi seingatku, dia tidak pernah mengeluh tentang kehidupan kuliahnya saat kami chatting di Whatsapp. Aku baru mau memberikan pertanyaan selanjutnya, namun terhenti karena dia melanjutkan kembali omongannya.
            “Aku pulang karena aku perlu waras lagi. Salah satunya dengan ketemu dan ngobrol sama kembaran ku ini yang ada di depanku.. Bytheway, sebenarnya aku baru nyampe tadi jam 3an dan kamu orang pertama yang aku temuin bahkan sebelum ayah dan ibu loh, Sa. Hahaha” sambungnya. Selalu deh kamu, Ga. Ngomong hal-hal yang aku ga ngerti maksudnya apa.
            Aku lagi-lagi cuman menanggapinya dengan tatapan datar. Tidak mengerti kenapa laki-laki di hadapanku ini suka sekali berbicara yang menimbulkan multitafsir.
Aku sendiri, tidak tahu apa yang dimaksud dengan cinta. Sebab saat aku malam ini mengumumkan aku sudah satu tahun berhubungan dengan Reyhan kepada Angga, dia lagi-lagi melontarkan kalimat-kalimat yang membuatku bingung. “Memang kamu udah cinta sama si Reyhan itu?” , aku menjawab dengan dahi berkerut “Loh, karena aku pacaran dengannya bukannya itu artinya aku cinta, Ga?” dan yang kulihat Angga hanya menggelengkan kepalanya sambil senyum-senyum sendiri, seolah aku baru salah menjelaskan apa isi cerita Filosofi Kopi nya Dewi Letsari.
            “Eh saya pernah baca deh,Sa, If you make a girl laugh, she likes you but if you make a girl cry she loves you. Apa dia udah pernah bikin kamu nangis? Atau kamu cemburu sampai nangis gitu? Hahaha” tanyanya
            “Tumben indikator kamu cengeng gitu. Baca tumblr-tumblr galau ya mas? Buat aku sih  logika nya nggak gitu lah, Ga. Justru karena dia cinta sama aku kan makanya dia selalu bikin ketawa dan nggak pernah bikin aku nangis” jawabku. Benar kan? Karena seingatku aku tidak pernah menangis karena Reyhan, cemburu pun tidak pernah karena aku memang tidak dipusingkan dengan hal-hal yang  seperti itu. Tapi aku bahagia dan selalu tertawa bersama Reyhan. Setidaknya itulah hingga kini yang aku rasakan.
            Lalu detik berikutnya, aku mendapati Angga mengaduk-aduk sendok es jeruknya, pandangannya menerawang jauh lebih dari sekedar memandangi es yang sudah mencair dalam gelasnya, tersenyum tipis, lalu mungkin selanjutnya dia akan mulai menyeramahiku. “Alyssa, buat saya, nangis dan tertawa itu sama-sama  respon fisik  akibat dari refleks ataupun dari gejolak emosi yang dirasakan oleh seorang manusia. Ada yang menangis karena  bahagia, ada yang menangis karena sedih, ada yang tertawa karena bahagia, ada juga tertawa tapi di dalam hati menangis. Ternyata dari nangis dan ketawa saja banyak bentuknya. Tapi kamu tau,Sa? Kalau disuruh milih bentuk emosi apa yang lebih saya suka untuk mengekspresikan perasaan, saya lebih milih bentuk itu adalah tangisan. Eh beda ya sama nangis kelilipan.. hehe”
            Aku cuman diam, menunggu apalagi yang akan keluar dari mulutnya.
            “Karena saya cuman takjub, Sa. Air mata itu keluarnya dari mata melalui proses lakrimasi. Terus kala kamu belum tahu, sebenarnya perasaan sedih, senang, marah, benci dan perasaan manusia yang lainya itu diproses dalam otak. Jadi kamu bisa bayangin nggak, Sa? Betapa ajaibnya emosi seorang manusia yang ada di otak, bisa sedemikian rupa dikeluarkan dalam bentuk air mata yang keluar lewat mata. Kamu bisa lihat kan kalau nangis itu boleh jadi lebih jujur daripada ketawa. Kalau ketawa, detik ini juga saya bisa ketawa tanpa kamu tahu saya benar-benar lagi ketawa atau cuman pura-pura ketawa. Tapi nangis? Saya rasa tidak, Sa”
            Aku buru-buru ingin mengeluarkan suara, namun Angga langsung memotongnya. “Jadi, Alyssa. Mulai sekarang, coba kita lebih peka dan lebih mendengar apa yang perasaan kita coba ingin ungkapkan. Lagian, harusnya kamu sebagai perempuan tuh bukannya kodratnya lebih sensitif dalam hal perasaan ya?”
            “Kodrat perempuan itu cuman menstruasi dan melahirkan, Ga” akhirnya aku mengeluarkan suara.
            “Hahahaha, iya iya. Saya ngomong gini, padahal di satu sisi saya juga lagi nyari orang yang bikin saya lengkap, Sa. Sebenarnya saya udah ketemu calonnya, saya akan bilang sama kamu kalau udah waktunya. Semoga orangnya mirip kamu yah,Sa. Karena sejujurnya kita cocok banget loh,Sa. Hahaha” ujar Angga sambil meneguk habis es jeruknya.
            Tiba-tiba aku secara refleks semakin merapatkan jaketku. Udara di sekitarku mendadak semakin dingin. Malam itu, setelah kalimat nya yang terakhir, Angga langsung membayar nasi goreng kami berdua dan mengantarku pulang.
            “Terimakasih ya, Sa udah nemenin saya malem ini. Semoga apapun kondisi kita nanti, kita masih sempet ngobrol ngalor ngidul lagi kayak gini” katanya sambil mengusap-usap puncak kepalaku. “Lusa saya balik lagi ke Jerman. Kamu baik-baik yah, Sa. Jangan lupa sama mimpi kamu, Inggris selalu nunggu kamu. ” ujarnya, menyinggung soal mimpi yang pernah kuceritakan kepadanya semasa SMA, tentang sekolah arsitek di Inggris.
            Aku cuman diam mematung, tidak tahu gemuruh apa yang aku rasakan saat ini, saat melihat Angga membalikkan badannya lalu menaiki mobilnya dan dengan cepat menghilang bersama malam yang semakin larut.
            Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, dan kurasakan pandanganku semakin kabur ketika aku sudah berada di dalam kamar. Aku baru sadar, bahwa aku dan Angga mungkin ditakdirkan sebagai dua magnet dengan kutub yang sama. Kami identik, dan justru karena itu kami tidak saling tarik menarik. Kita mencari kepingan masing-masing, disaat kita lupa bahwa kita sudah saling menukar potongan itu. Lalu diam-diam kami membuat kesapakatan yang tidak pernah benar-benar disepakati, bahwa kita tidak pernah ingin menyelesaikan puzzle yang ada.

            Aku jadi ingat ucapan Angga beberapa jam yang lalu, “Eh saya pernah baca deh,Sa, If you make a girl laugh, she likes you but if you make a girl cry she loves you. Apa dia udah pernah bikin kamu nangis? Atau kamu cemburu sampai nangis gitu? Hahaha. Kamu memang tahu semua genre buku kesukaan ku, Ga. Kamu tau aku akan hanya duduk di pinggir dekat jendela saat kita minum di kedai kopi, kamu memang tahu semua. Tapi malam ini, kamu tidak akan pernah tahu bahwa akhirnya kamu yang membuat aku menangis.

CONVERSATION

0 celoteh:

Back
to top